Selamat datang di Anak Rejang. Semoga blog kecil dan sederhana ini mendatangkan manfaat untuk kita semua. Jangan segan untuk kembali. Salam kenal.

Senin, 06 September 2010

BUDAYA REJANG

MULUD, SEBUAH TRADISI PENENTRAM JIWA
DAN LANTUNAN DZIKIR PENGAYUH BAHTERA RUMAH TANGGA


Oleh:
Nama : MINTARJA
Kelas/Semester : VI/B
NPM : 0721122209

Dosen Pembimbing : Iskandar, S.Sn

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BENGKULU
2010


MULUD, SEBUAH TRADISI PENENTRAM JIWA
DAN LANTUNAN DZIKIR PENGAYUH BAHTERA RUMAH TANGGA


Indonesia adalah Negara yang memiliki banyak pulau yang di dalamnya terdapat banyak suku bangsa dan bahasa. Kekayaan ini patut untuk kita syukuri. Betapa tidak, dengan beragamnya suku bangsa tersebut, Indonesia tidak menjadi pecah, melainkan bersatu padu dalam keragaman sehiungga menjadi satu kestuan yang kokoh. Bengkulu, termasuk ke dalam wilayah NKRI yang di dalamnya juga terdapat beragam suku dan bahasa serta adat istiadat yang berbeda-beda. Misalnya saja Bahasa Lembak, Pekal, Serawai, Rejang, Kaur, dan lain sebagainya. Desa Kota Agung, yang berada di wilayah Kabupaten Bengkulu Utara, mayoritas penduduknya menggunakan Bahasa Rejang dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti halnya di desa-desa lain, di desa ini pun terdapat acara-acara adat. hanya saja mungkin ada sedikit perbedaan. Acara-acara adat di desa ini akan bisa kita lihat pada saat diadakannya pernikahan. Maulid Nabi (selanjutnya di tulis mulud) adalah salah satu acara adat yang ada di Desa Kota Agung. Acara ini biasa dilakukan apabila ada yang melangsangkan pernikahan.
Biasanya, sebelum melaksanakan pernikahan tersebut, jauh-jauh hari telah dilakukan acara lamaran. Kemudian, tuan rumah biasanya mengundang saudara dan tetangga-tetangga untuk berkumpul di rumahnya, untuk acara marang buluak (menganbil bambu) yang nanti akan digunakan untuk menea samia/pengujung (membuat tarub) sebagai tempat tamu undangan.
Setelah bambu dan kayu telah tersedia, maka hari selanjutnya, masyarakat kembali berkumpul di kediaman tuan rumah untuk membuat tarub. Dalam hal ini, biasanya yang datang hanya yang di undang, sanak saudara, dan tetangga. Orang-orang akan berdatangan ke rumah tersebut sejak dari pagi. Kira-kira pukul 07-an, pekerjaan membuat tarub tersebut akan dimulai dan dikerjakan secara bergotong royong. Saat orang-orang berdatangan, maka tuan rumah (yang masih muda-muda) langsung mempersilakan duduk di tempat yang telah disediakan serta langsung menyuguhkan makanan dan minuman alakadarnya. Setelah itupun, tamu-tamu tersebut langsung turun membantu membuat tarub bergabung dengan yang lain. Selama kaum laki-laki membuat tarub, kaum perempuannya sibuk di belakang untuk memasak hidangan yang akan di hidangkan nantinya.
Apabila tarub telah selesai dibuat, maka kaum laki-laki dipersilakan untuk duduk istirahat di atas tikar yang telah digelar di tarub tersebut. Saat itu, ada beberapa orang laki-laki yang menjadi jenang yang bertugas untuk mengeluarkan dan menghidangkan makanan dan minuman. Makanan yang dikeluarkan pertama adalah sawo (serawo) dan bioa kupi (air kopi). Bersamaan dengan itu juga, langsung diadakan acara basen (berasan) antara pihak calon mempelai laki-laki dan perempuannya. Yang dibicarakan pada saat basen ini adalah mengenai permintaan taran (hantaran) yang harus dipenuhi pihak laki-laki kepada calon istrinya, yang sebenarnya hal tersebut telah dibahas pada waktu lamaran. Namun saat basen ini dibahas kembali dengan tujuan agar seluruh masyarakat mengetahui apa-apa saja yang diminta oleh pihak mempelai perempuan kepada calon suaminya tersebut.
Setelah acara basen tersebut, maka diadakan acara makan bersama, yang dalam hal ini, lauk/sayur yang harus ada adalah lapen putiak meleu ngen monok (sayur putih dan hitam serta ayam). Setelah itu, maka akan dilangsungkan akad nikah, yang dihadiri oleh perangkat desa, cerdik pandai dan alim ulama desa tersebut. Dan apabila acara akad nikah ini telah selesai, maka para tamu satu persatu akan meninggalkan acara tersebut.
Keesokan harinya, maka tamu undangan akan kembali berdatangan untuk menghadiri acara mulud. Acara ini akan dimulai sejak dari pukul 08.00 s.d jam 12-an. Adapun alat yang digunakan adalah rebana, dan kiteb mulud. Biasanya, yang mendendangkan atau menabuh rabana adalah kaum bapak-bapak dengan irama tertentu. Bapak-bapak ini menabuh rabana sambil membaca kitab mulud sembari duduk bersila melingkar di pengujung/samia yang telah dibuat kemarin. Setelah cukup lama mdeker (berdzikir) dengan tetabuhan rabana sambil duduk, maka mereka akan bedirai (berdiri) dengan irama rabana yang semakin cepat dan semakin keras bunyinya serta menimbulkan semangat tersendiri bagi yang mendengarnya. Semakin cepat irama rabana maka semakin cepat pula lantunan dzikir yang dibacakan. Gerakan bedirai ini menandakan bahwa acara mulud tersebut akan segera selesai.
Setelah selesai, maka bapak-bapak serrta tamu undangan yang lain tadi kembali duduk bersila di pengujung dan jenang akan kembali menunaikan tugasnya menghidangkan makanan dan minuman. Adapun yang harus tersedia kali ini adalah rostim/stek (putiak-meleu), nasi, dan bergedel. Apabila acara makan ini telah selesai, maka mengenyan (pengantin) akan keluar dari rumah untuk menerima ucapan selamat dari tamu undanagan dengan cara bersalaman, serta mengucapkan rasa tarima kasih kepada semuanya.
Dan apabila tamu undangan telah meninggalkan tarub dan rumah mempelai tersebut, maka pemuda dan para tetangga akan datang untuk ngemak samia/pengujung (membongkar tarub) yang telah dibuat kemarin, secara bergotong royong. Setelah itu, langsung mengembalikan peralatan-peralatan yang diambil dari balai desa, rumah tetangga, atau dari desa lain. Dengan dibongkarnya tarub tersebut, maka berakhir pula acara mulud yang diadakan di kediaman mempelai/pengantin tersebut.
Beberapa tahun lalu yang lalu,, acara-acara adat seperti ini masih sering dijumpai di desa ini. Akan tetapi, Sekarang sudah mulai jarang yang mengadakannya. Apabila keluarga mempelai tergolong mampu, maka biasanya mereka akan lebih memilih untuk mengadakan acara organ tunggal dibandingkan mengangkat acara adat dan budaya setempat. Dan ironisnya lagi, generasi muda di desa ini Sekarang sudah tidak lagi tertarik dengan acara-acara adat. Hal ini bisa dilihat dari kurangnya pemuda yang menguasai ataupun bisa bdeker pada saat diadakannya acara mulud tersebut. Kalau dipersentasikan, mungkin tidak sampai 10 % pemuda yang menguasainya. Sangat disayangkan, hal ini tidak diperhatikan sehingga terkesan seperti dibiarkan saja tanpa ada langkah lebih lanjut untuk mengatasinya. Padahal, kalau tidak dikembangkan, maka lambat laun tradisi ini akan punah.


Artikel Terkait:

0 komentar:

:nangis :rate :lebay :hoax :nyimak :hotnews :gotkp :wow :pertamax :lapar :santai :malu :ngintip :newyear

Posting Komentar

Terimakasih untuk pesan dan komentar yang Anda tinggalkan pada blog ini. Pesan dan komentar Anda sangat berharga dan sangat penting untuk bahan pemikiran saya.